TECHNOPRENEURSHIP : Inkubator Bisnis Berbasis Teknologi
Perubahan demi perubahan yang terjadi dari suatu zaman ke zaman berikutnya telah mengantarkan manusia memasuki era digital, suatu era yang seringkali menimbulkan pertanyaan : apakah kita masih hidup di masa kini atau telah hidup di masa datang. Pertanyaan ini timbul karena hampir segala sesuatu yang semula tidak terbayangkan akan terjadi pada saat ini, secara tiba-tiba muncul di hadapan kita. Masa depan seolah-olah dapat ditarik lebih cepat keberadaannya dari waktu yang semestinya, berkat kemajuan teknologi informasi.
Teknologi komunikasi dan informasi atau teknologi telematika (information and communication technology –ICT) telah diakui dunia sebagai salah satu sarana dan prasarana utama untuk mengatasi masalah-masalah dunia. Teknologi telematika dikenal sebagai konvergensi dari teknologi komunikasi (communication), pengolahan (computing) dan informasi (information) yang diseminasikan mempergunakan sarana multimedia. Masalah di Indonesia yang paling utama adalah bagaimana memecahkan masalah kesenjangan digital yang masih sangat besar dengan menumbuh-kembangkan inovasi atau teknopreneur industri telematika. Technopreneurship atau wirausaha teknologi merupakan proses dan pembentukan usaha baru yang melibatkan teknologi sebagai basisnya, dengan harapan bahwa penciptaan strategi dan inovasi yang tepat kelak bisa menempatkan teknologi sebagai salah satu faktor untuk pengembangan ekonomi nasional.
Pengusaha bidang teknologi (Technopreneur), khususnya teknologi informasi (TI) membutuhkan adanya kebebasan dalam berinovasi, tanpa harus terkekang oleh regulasi yang malah menghambat. Semakin pemerintah mengendurkan ketatnya regulasi yang mengatur gerakan grass root komunitas TI di Indonesia, maka akan memberikan dampak positif berupa tumbuhnya TI itu sendiri dan juga aspek bisnisnya. Hal ini sangat penting karena dilandasi pengalaman di lapangan, di mana seringkali terjadi benturan antara kepentingan badan usaha sebagai unit bisnis yang menuntut untuk selalu bersikap dan berperilaku sebagai wirausahawan dan melakukan perubahan-perubahan, menyesuaikan antara fakta yang ada dengan tuntutan perubahan serta memperbesar usaha, tetapi di sisi lain ada kepentingan-kepentingan Pemerintah yang mungkin saja berlawanan dengan kepentingan sebagai suatu unit bisnis. Padahal dalam technopreneurship diperlukan semangat kompetisi yang dominan, agar tidak tertinggal dari turbulensi bisnis global.
Dalam kurun waktu yang panjang, ilmu pengetahuan ditempatkan pada “kotak” tersendiri secara eksklusif, seolah-olah diasingkan dari kegiatan ekonomi. Dunia ilmu pengetahuan atau kita sebut dengan pendidikan, dianggap bukan menjadi bagian dari suatu sistem ekonomi. Dunia pendidikan dipandang sebagai suatu dunia tersendiri tempat dibangunnya nilai-nilai luhur, sementara dunia ekonomi dipandang sebagai dunia yang penuh dengan kecurangan, ketidakadilan, bahkan seolah dunia tanpai nilai (value). Cara pandang yang dikotomis tersebut, dalam kurun waktu yang lama belum dapat terjembatani secara baik. Masing-masing pihak lebih mementingkan dan meng claim sebagai pihak yang paling benar.
Yang perlu kita ketahui adalah bahwa dalam era ekonomi yang berbasis ilmu pengetahuan, pendidikan merupakan wujud dari keberhasilan pembangunan nasional suatu negara. Bahkan pendidikan dapat menjadi keunggulan daya saing suatu negara. Dengan kata lain, pendidikan memegang peran strategis dalam memajukan ekonomi bangsa. Dan hal ini telah dibuktikan oleh negara-negara industri baru seperti Singapore, Taiwan dan Malaysia, di mana dengan membangun sarana dan prasarana pendidikan secara serius dalam sepuluh tahun terakhir, kualitas kehidupan bangsa-bangsa tersebut terus meningkat.
Bagaimana dengan Indonesia ?. Selama berpuluh tahun, pendidikan dijadikan alat politik penguasa, mulai dari jenjang pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Akibatnya pendidikan berjalan lamban (too slow), sehingga tidak dapat mengejar tuntutan perubahan. Pendidikan belum memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perubahan yang terjadi atau masih sangaPerubahan demi perubahan yang terjadi dari suatu zaman ke zaman berikutnya telah mengantarkan manusia memasuki era digital, suatu era yang seringkali menimbulkan pertanyaan : apakah kita masih hidup di masa kini atau telah hidup di masa datang. Pertanyaan ini timbul karena hampir segala sesuatu yang semula tidak terbayangkan akan terjadi pada saat ini, secara tiba-tiba muncul di hadapan kita. Masa depan seolah-olah dapat ditarik lebih cepat keberadaannya dari waktu yang semestinya, berkat kemajuan teknologi informasi.
Teknologi komunikasi dan informasi atau teknologi telematika (information and communication technology –ICT) telah diakui dunia sebagai salah satu sarana dan prasarana utama untuk mengatasi masalah-masalah dunia. Teknologi telematika dikenal sebagai
konvergensi dari teknologi komunikasi (communication), pengolahan (computing) dan informasi (information) yang diseminasikan mempergunakan sarana multimedia. Masalah di Indonesia yang paling utama adalah bagaimana memecahkan masalah kesenjangan digital yang masih sangat besar dengan menumbuh-kembangkan inovasi atau teknopreneur industri telematika. Technopreneurship atau wirausaha teknologi merupakan proses dan pembentukan usaha baru yang melibatkan teknologi sebagai basisnya, dengan harapan bahwa penciptaan strategi dan inovasi yang tepat kelak bisa menempatkan teknologi sebagai salah satu faktor untuk pengembangan ekonomi nasional.
Pengusaha bidang teknologi (Technopreneur), khususnya teknologi informasi (TI) membutuhkan adanya kebebasan dalam berinovasi, tanpa harus terkekang oleh regulasi yang malah menghambat. Semakin pemerintah mengendurkan ketatnya regulasi yang mengatur gerakan grass root komunitas TI di Indonesia, maka akan memberikan dampak positif berupa tumbuhnya TI itu sendiri dan juga aspek bisnisnya. Hal ini sangat penting karena dilandasi pengalaman di lapangan, di mana seringkali terjadi benturan antara kepentingan badan usaha sebagai unit bisnis yang menuntut untuk selalu bersikap dan berperilaku sebagai wirausahawan dan melakukan perubahan-perubahan, menyesuaikan antara fakta yang ada dengan tuntutan perubahan serta memperbesar usaha, tetapi di sisi lain ada kepentingan-kepentingan Pemerintah yang mungkin saja berlawanan dengan kepentingan sebagai suatu unit bisnis. Padahal dalam technopreneurship diperlukan semangat kompetisi yang dominan, agar tidak tertinggal dari turbulensi bisnis global.
Dalam kurun waktu yang panjang, ilmu pengetahuan ditempatkan pada “kotak” tersendiri secara eksklusif, seolah-olah diasingkan dari kegiatan ekonomi. Dunia ilmu pengetahuan atau kita sebut dengan pendidikan, dianggap bukan menjadi bagian dari suatu sistem ekonomi. Dunia pendidikan dipandang sebagai suatu dunia tersendiri tempat dibangunnya nilai-nilai luhur, sementara dunia ekonomi dipandang sebagai dunia yang penuh dengan kecurangan, ketidakadilan, bahkan seolah dunia tanpai nilai (value). Cara pandang yang dikotomis tersebut, dalam kurun waktu yang lama belum dapat terjembatani secara baik. Masing-masing pihak lebih mementingkan dan meng claim sebagai pihak yang paling benar.
Yang perlu kita ketahui adalah bahwa dalam era ekonomi yang berbasis ilmu pengetahuan, pendidikan merupakan wujud dari keberhasilan pembangunan nasional suatu negara. Bahkan pendidikan dapat menjadi keunggulan daya saing suatu negara. Dengan kata lain, pendidikan memegang peran strategis dalam memajukan ekonomi bangsa. Dan hal ini telah dibuktikan oleh negara-negara industri baru seperti Singapore, Taiwan dan Malaysia, di mana dengan membangun sarana dan prasarana pendidikan secara serius dalam sepuluh tahun terakhir, kualitas kehidupan bangsa-bangsa tersebut terus meningkat.
Bagaimana dengan Indonesia ?. Selama berpuluh tahun, pendidikan dijadikan alat politik penguasa, mulai dari jenjang pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Akibatnya pendidikan berjalan lamban (too slow), sehingga tidak dapat mengejar tuntutan perubahan. Pendidikan belum memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perubahan yang terjadi atau masih sangat sedikit (too little). Bahkan pendidikan seringkali terlambat (too late) dalam mengadaptasi perubahan, sehingga pendidikan tertinggal dan belum mampu menjawab tantangan masa depan. Faktor penyebabnya adalah karena kebijakan yang ada disamping tambal sulam, juga dibuat secara tergesa-gesa. Bahkan pemerintah dinilai belum memiliki visi dan komitmen yang jelas tentang pendidikan.
Sehingga dapat dikatakan bahwa Indonesia baru dan sedang melakukan perubahan orientasi pendidikan dari pendidikan yang berbasis akademis kepada pendidikan yang berbasis kompetensi. Disinilah pokok bahasan tentang technopreneurship tersebut perlu dikembangkan. Memang tidak mudah untuk dilaksanakan, namun menjadi sebuah tantangan bagi kita untuk memajukan bangsa ini pada masa yang akan datang. t sedikit (too little). Bahkan pendidikan seringkali terlambat (too late) dalam mengadaptasi perubahan, sehingga pendidikan tertinggal dan belum mampu menjawab tantangan masa depan. Faktor penyebabnya adalah karena kebijakan yang ada disamping tambal sulam, juga dibuat secara tergesa-gesa. Bahkan pemerintah dinilai belum memiliki visi dan komitmen yang jelas tentang pendidikan.
Sehingga dapat dikatakan bahwa Indonesia baru dan sedang melakukan perubahan orientasi pendidikan dari pendidikan yang berbasis akademis kepada pendidikan yang berbasis kompetensi. Disinilah pokok bahasan tentang technopreneurship tersebut perlu dikembangkan. Memang tidak mudah untuk dilaksanakan, namun menjadi sebuah tantangan bagi kita untuk memajukan bangsa ini pada masa yang akan datang.
Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki
Kamis, 13 Oktober 2011
Langganan:
Postingan (Atom)